Pertapa Himalaya dan Turis
Suka Duka Manusia Lebih Mengingatkan tentang Hidup Mati
Pertapa Himalaya dan Turis...
PAGI buta pertengahan 1998. Langit yang mulai memerah nampak dari balik kaca ruang tunggu bandara Heathrow. Duduk di kursi saya bisikkan sebait mantra memuja Matahari yang sebentar lagi akan terbit. Sejujurnya Mantra itu bukan untuk Dewa Matahari. Tapi usaha menenangkan kegelisahan hati. Saya akan menempuh jarak menuju tanah asal Pandawa dan Kurawa, yang ceritanya saya dengar sampai bosan lewat trend mabebasan yang menjamur seperti virus. Bait Mantra itu saya ulang terus menerus sampai terdengar panggilan boarding.Saya manusia Bali yang latah ikut-ikutan menjadi turis. Pagi sudah terang ketika pesawat India Air mengangkasa dari London menuju New Delhi. Dari Balik jendela pesawat sekali-sekali saya menoleh ke bawah. Bumi dibungkus awan-awan putih. Planet yang kesepian itu disebut mrtyupada oleh para juru bicara agama, berarti 'tempat kematian'. Itulah penjara terbesar yang setiap napi divonis mati. Tinggal menunggu eksekusi yang untuk masing-masing napi dirahasiakan kapan dan dengan cara bagaimana pencabutan Atma itu akan dilaksanakan. Saya napi yang dijebloskan sejak tahun 1962. Saya besar dalam penjara itu. Bersekolah, bekerja, bersenggama, berkelahi, semuanya terjadi di sana. Juru bicara agama mengatakan hidup dalam penjara harus punya tujuan. Saya pernah dibuatnya percaya. Sekarang, saya hanya percaya bahwa bebas dari tujuan itulah tujuan. Karena punya tujuan, apalagi dalam bungkus agama seperti dipraktekkan dalam adat, lebih banyak memberikan keletihan daripada kegairahan hidup. Perjalanan ngutang-ngutang awak ('membuang diri') kali ini adalah cara saya membunuh tujuan.Tengah malam burung besi itu mendarat. Keterasingan menyambut kedatangan saya. Tidak ada orang mengucapkan Om Swastyastu sebagai ucapan selamat datang. Tidak ada balaganjur menjemput. Tidak ada penari pendet mengalungkan bunga di leher saya. Apalagi tedung agung yang mengapit perjalanan saya menuju limousine. Yang ada justru puluha lelaki berkulit gelap dengan agresif memaksakan jasa transportasi dan hotel.'"Selamat datang, Diriku,'' bisik saya sambil terduduk letih dalam airport taksi menuju pusat kota Delhi. Pukul dua malam berputar-putar di New Delhi mencari tempat menginap, bukanlah pekerjaan nyaman. Apalagi ini yang pertama kalinya. Apalagi seorang diri. Apakah leluhur di Bali memantau perjalanan ini? Apakah saudara Kanda Pat masih setia menjaga? Mujarabkah doa ''semoga segala pikiran yang baik datang dari segala arah?''Perasaan yang campur aduk membangkitkan naluri purba untuk bercakap-cakap dengan diri. Tapi saya tidak mau meladeni insting itu. Karena saya sudah tahu, naluri itu selanjutnya akan bertanya tentang apa yang sedang saya cari, mengapa harus mencari jauh-jauh, kenapa tidak dicari di dalam diri seperti diserukan kitab suci. Sudah lama saya jenuh dengan pertanyaan seperti itu. Saya bahkan melarang keras pikiran bertanya soal sangkan paraning dumadi ('asal dan tujuan penjelmaan menjadi manusia').
Pertapa Himalaya dan Turis...
PAGI buta pertengahan 1998. Langit yang mulai memerah nampak dari balik kaca ruang tunggu bandara Heathrow. Duduk di kursi saya bisikkan sebait mantra memuja Matahari yang sebentar lagi akan terbit. Sejujurnya Mantra itu bukan untuk Dewa Matahari. Tapi usaha menenangkan kegelisahan hati. Saya akan menempuh jarak menuju tanah asal Pandawa dan Kurawa, yang ceritanya saya dengar sampai bosan lewat trend mabebasan yang menjamur seperti virus. Bait Mantra itu saya ulang terus menerus sampai terdengar panggilan boarding.Saya manusia Bali yang latah ikut-ikutan menjadi turis. Pagi sudah terang ketika pesawat India Air mengangkasa dari London menuju New Delhi. Dari Balik jendela pesawat sekali-sekali saya menoleh ke bawah. Bumi dibungkus awan-awan putih. Planet yang kesepian itu disebut mrtyupada oleh para juru bicara agama, berarti 'tempat kematian'. Itulah penjara terbesar yang setiap napi divonis mati. Tinggal menunggu eksekusi yang untuk masing-masing napi dirahasiakan kapan dan dengan cara bagaimana pencabutan Atma itu akan dilaksanakan. Saya napi yang dijebloskan sejak tahun 1962. Saya besar dalam penjara itu. Bersekolah, bekerja, bersenggama, berkelahi, semuanya terjadi di sana. Juru bicara agama mengatakan hidup dalam penjara harus punya tujuan. Saya pernah dibuatnya percaya. Sekarang, saya hanya percaya bahwa bebas dari tujuan itulah tujuan. Karena punya tujuan, apalagi dalam bungkus agama seperti dipraktekkan dalam adat, lebih banyak memberikan keletihan daripada kegairahan hidup. Perjalanan ngutang-ngutang awak ('membuang diri') kali ini adalah cara saya membunuh tujuan.Tengah malam burung besi itu mendarat. Keterasingan menyambut kedatangan saya. Tidak ada orang mengucapkan Om Swastyastu sebagai ucapan selamat datang. Tidak ada balaganjur menjemput. Tidak ada penari pendet mengalungkan bunga di leher saya. Apalagi tedung agung yang mengapit perjalanan saya menuju limousine. Yang ada justru puluha lelaki berkulit gelap dengan agresif memaksakan jasa transportasi dan hotel.'"Selamat datang, Diriku,'' bisik saya sambil terduduk letih dalam airport taksi menuju pusat kota Delhi. Pukul dua malam berputar-putar di New Delhi mencari tempat menginap, bukanlah pekerjaan nyaman. Apalagi ini yang pertama kalinya. Apalagi seorang diri. Apakah leluhur di Bali memantau perjalanan ini? Apakah saudara Kanda Pat masih setia menjaga? Mujarabkah doa ''semoga segala pikiran yang baik datang dari segala arah?''Perasaan yang campur aduk membangkitkan naluri purba untuk bercakap-cakap dengan diri. Tapi saya tidak mau meladeni insting itu. Karena saya sudah tahu, naluri itu selanjutnya akan bertanya tentang apa yang sedang saya cari, mengapa harus mencari jauh-jauh, kenapa tidak dicari di dalam diri seperti diserukan kitab suci. Sudah lama saya jenuh dengan pertanyaan seperti itu. Saya bahkan melarang keras pikiran bertanya soal sangkan paraning dumadi ('asal dan tujuan penjelmaan menjadi manusia').
Sudah saya katakan, saya ingin bebas dari tujuan. Cilakanya, ''ingin bebas'' itulah tujuan. Beginikah produk pendidikan yang berbasis pikiran? Banyak guru agama saya tinggalkan. Lebih banyak lagi guru agama yang meninggalkan saya. Saya seorang murid yang gagal menyenangkan guru agama pada zaman kejayaan Republik Adat. Karena saya mendengar cerita suka duka manusia bumi. Bukan kisah Dewa-Dewa di surga. Suka-duka manusia mengingatkan saya pada hidup dan mati.
***
Menyusuri lorong-lorong New Delhi, saya pungut bermacam cerita. Cerita itu saya rangkai sendiri dari apa yang saya lihat, dari apa yang saya dengar, dari apa yang saya baca. Sudah tentu berdasarkan apa yang saya mengerti. Tepatnya, berdasarkan apa yang saya duga saya mengerti. Saya masukkan cerita itu ke dalam file memori. Kelak satu persatu cerita itu akan saya bacakan pada diri sendiri sebelum bubuk. Itulah hadiah yang ingin saya berikan pada diri, bila tidak lagi bisa berjalan.Serakah sekali manusia-saya ini. Tidak mampu berjalan tapi ingin dapat anugerah. Keserakahan itulah bukti, saya bukan murid agama yang baik. Ingin saya menabung cerita sebanyak mungkin. Untuk itu saya menempuh jarak geografis dan psikologis yang tidak pendek. Mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Menghabiskan waktu yang ternyata tidak bisa habis. Mengumbar energi yang ternyata terbatas. Dan menyia-nyiakan usia produktif menurut kata orang-orang yang gagal memahami saya, atau yang gagal saya pahami. Perbedaan pemahaman atas ajaran telah memisahkan kami. Harmoni menurut mereka adalah kesamaan, bukan perbedaan. Berdesak-desakan dalam bus saya menuju Reshikesh, sebuah desa perkampungan pertapa, tempat John Lennon dan The Beatles pernah mencicipi spiritualitas para yogi. Keunikan tempat itu menyebabkan saya akhirnya tertahan beberapa minggu. Pagi hari rombongan pertapa lalu-lalang dengan pandangan mengejek kehidupan. Pemandangan sore hari membangkitkan sensasi aneh. Puluhan yogi melakukan pemujaan pada sungai Gangga dengan musik, nyanyi, dan tari. Sungai Gangga memang beda. Dengan caranya yang tidak saya mengerti, Gangga membangkitkan insting purba yang ternyata masih ada dalam diri saya. Saya seperti ingin menangis di hadapan Ibu-Gangga untuk melepaskan keletihan hati. Malam-malam saya duduk sendirian di tepinya, sekadar memandang alirannya yang deras. Atau sekadar mengikuti deru bunyinya yang tak putus-putus.Suatu malam saya duduk di tepinya memegang sebuah gunting. Saya tidak hendak bunuh diri. Saya ingin mempersembahkan sesuatu pada Ibu-Gangga. Maka saya potong sedikit demi sedikit jenggot yang panjangnya sekitar tujuh senti. Saya hanyutkan potongan jenggot itu satu persatu. Setiap kali menabur jenggot, saya ucapkan sebuah Mantra khusus, yang terlalu pribadi untuk dituliskan di sini. Itulah isi dan cara persembahan saya. Itulah sembahyang saya yang sama sekali tidak berbau Bali.Kenapa jenggot? Saya tidak punya sesuatu yang pantas dipersembahkan selain jenggot. Bukankah jenggot adalah bagian dari diri. Semula saya pikir mungkin baik mempersembahkan rambut. Rencana itu saya batalkan, karena ternyata saya masih sangat sayang pada rambut yang panjang ini. Saya tidak mungkin memotong jari tangan atau kaki untuk dipersembahkan. Apalagi memotong leher. Itu namanya konyol. Saya tahu konon demi baktinya tokoh Ekalawya memotong ibu jari tangannya sebagai persembahan kepada Profesor Drona dalam Epos Mahabharata. Tapi murid nakal seperti saya tidak mungkin melakukan itu. Jika tidak mampu memecat professor itu, saya pasti akan meninggalkannya. Karena kebenaran tidak boleh menjadi milik satu orang, atau satu lembaga. Keesokan harinya seorang pertapa kenalan saya kaget melihat saya tanpa jenggot. Saya tidak mau menceritakan pemujaan bersaranakan jenggot itu. Tapi saya juga tidak ingin berbohong. Maka saya menjawab dengan senyum. Seperti bahasa, senyum juga menutupi sesuatu dengan memperlihatkan sesuatu yang lain. Soal jujur dan bohong, itu masalah lain lagi. Ketika pertapa itu membalas senyum saya dengan senyum, saya merasa ia tahu bahwa sesuatu telah terjadi pada diri saya. Pertapa itu saya kenal pada hari pertama di Reshikesh. Kami menjadi dekat karena sama-sama bisa bercerita banyak tentang Desa Shiwa. Pertemuan kami selalu dipenuhi percakapan ala spiritualis-pengembara. Tapi akhirnya saya tinggalkan tempat itu karena sebuah kejadian yang tidak ada hubungannya dengan spiritualitas. Pertapa itu dengan caranya yang sangat professional mengambil uang saya beberapa ratus Rupee tanpa saya sadari. Maka bertambah satu lagi cerita yang saya koleksi dalam memori. Cerita itu saya beri judul ''Hati-Hati, Ada Pertapa.''
***
Bersama cerita ''Hati-hati, Ada Pertapa'' saya tinggalkan Reshikesh. Dengan menumpang bus, saya susuri pinggiran sungai Gangga menuju ke hulunya di sebuah desa bernama Ganggotri. Itu adalah desa terakhir di salah sati kaki pegunungan Himalaya berbatasan dengan Tibet. Saya pilih Ganggotri karena tertarik promosi seorang pegawai hotel. ''Tempat itu cocok untuk orang seperti Anda,'' katanya. Saya tidak tahu apakah ia memuji atau menyindir dengan ucapan itu.''Anda memuja Dewa apa?'' Tanya seorang pertapa yang membukakan pintu Ashramnya ketika tengah malam itu saya sampai di Ganggotri.''Shiwa'', kawan saya sekenannya. Ia memberi saya sebuah lampu minyak tanah, setumpuk selimut tebal, dan menunjukkan sebuah gubuk kayu ukuran 2x1,5 m. Di sana saya boleh tidur untuk beberapa hari.''Besok pagi Anda datang, menemui saya,'' katanya dengan rasa percaya diri berlebihan. Di kuping saya ucapannya terdengar seperti sebuah perintah. Nada ucapan seperti itu sangat sering saya dengan di India. Saya mengiyakan. Karena saya tidak punya pilihan lain.Di dalam gubuk beratap seng itu saya rebahkan badan. Tiga selimut saya tumpuk di atas tubuh sebagai negosiasi saya pada dingin yang menusuk tulang. Bunyi air terjun sungai Gangga yang tak jauh dari Ashram itu memberi saya tidur yang lelap. Keesokan harinya lelaki pertapa itu mengatakan akan pergi beberapa minggu ke suatu tempat yang tidak saya ketahui apa namanya dan di mana lokasinya. Ia menanyakan berapa lama saya akan tinggal di Ashramnya. Saya jawab, seminggu. Ia menyaran agar saya tetap tinggal di Ashramnya. Seorang pelayan akan membantu saya jika memerlukan sesuatu. Tapi urusan administrasi sebaiknya diselesaikan hari itu juga. Administrasi? Maksudnya, saya harus membayar uang sewa Ashram yang ia sebut contribution. Khusus untuk saya, seorang pemuja Shiwa, ia mengatakan akan memberi discount. Semua itu diucapkannya dengan jelas, tanpa ada sedikit pun keraguan. Seperti terkena hipnotis, saya menyerahkan sejumlah uang yang ia tentukan. Ternyata, saya memang harus selalu membayar untuk apa yang saya dapatkan di mana pun.''Enjoy your stay,'' katanya memasukkan uang itu ke dompetnya yang besar.''Thank you,'' sahut saya sambil menatapnya dengan pandangan kosong. Detik itu juga saya langsung memasukkannya ke dalam daftar cerita yang sedang saya kumpulkan. Saya beri judul,'' Awas, Ada Pertapa Pintar.'' Itu judul sementara sampai nanti saya temukan yang lebih bagus.Itulah contoh sebuah pagi yang produktif-inspiratif. Saya mendapatkan cerita tanpa kehilangan setetes keringat pun. Saya mungkin kehilangan citra pertapa. Bukan pula salah saya. Tidak ada yang salah. Semuanya benar. Ketika semua benar, itulah barangkali sebuah kesalahan. Perut saya lapar. Kaki saya pun melangkah. Di sebuah warung saya menemukan sebuah cerita lain. Tentang seorang wanita Israel merobek didepan saya per satu lembar passportnya, menghanyutkannya ke sungai Gangga. Setelah semua lembar dibuang, ia lemparkan covernya. Kemudian ia mendaki sebuah bukit tak jauh dari Ganggotri. Di sebuah gua alam di lereng bukit itu ia tinggal sebagai pertapa. Hanya sesekali ia keluar gua untuk kebutuhan bahan makanan. Kata orang, sudah setahun lebih wanita itu menjalani hidup barunya. Dan ia masih hidup. Hanya wajahnya mulai kelihatan aneh. Demikian obrolan serombongan turis Israel yang duduk semeja dengan saya. Seorang dari mereka menawarkan apakah saya ingin pergi ke gua itu bersama-sama. Saya jawab, ''terimakasih, saya sudah punya acara.'' air itu saya habiskan dengan duduk seharian di depan temple Dewi Gangga.Kisah itu saya dengar kembali keesokan harinya, dan hari esoknya lagi. Yang menceritakannya selalu turis. Penduduk setempat tidak membicarakannya. Ikan tidak berbicara tentang air. Atau, seperti metafora kumbang dan kedok dalam Kakawin Niti Shastra. Kumbang yang terbang membawa berita tentang bunga-bunga. Sedangkan kodok, walau hidup di kolam yang, tidak perduli dengan bunga yang tumbuh di sana. Saya tidak tahu, apakah saya kumbang atau kodok. Barangkali bukan keduanya.Saya tidak menanyakan siapa nama pertapa wanita itu. Saya tidak pernah dan tidak ingin melihat mukanya. Tapi saya memang sempat melihat mulut gua itu dari kejauhan. Sekadar ingin tahu. Kaki saya tidak tergerak mendekati pertapaannya. Saya tidak termotivasi mengenalnya dari dekat. Bahkan, sekadar menyapa namaste pun saya enggan. Kesadaran saya berkata, orang seperti itu lebih bagus dibiarkan, tanpa perlu berpikir negatif tentangnya.Bukan berarti pertapa wanita itu tidak masuk ke dalam kumpulan cerita dalam memori saya. Keputusannya memilih hidup ekstrem, seakan mengejek saya. Sering saya berpikir tentang hal yang sama, tapi tidak pernah merasa siap untuk melakukannya. Karena, barangkali saya tidak benar-benar menginginkannya. Atau, keinginan itu belum matang. Pengalaman hidup yang menyebabkannya masuk gua pasti berbeda dengan pengalaman hidup yang menyebabkan saya berpikir tentang gua. Entahlah! Yang jelas, mendengar orang membicarakannya, saya menjadi malu pada diri sendiri. Tapi saya tetap memungut cerita itu, sebagai satu dari beberapa cerita unggulan yang saya punya. Lama setelah meninggalkan Ganggotri, dan lama setelah saya pergi dari India, saya masih memikirkannya. Kepada beberapa teman, saya ceritakan apa adanya. Bukan sebagai oleh-oleh dari Himalaya, tapi untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kisah ini benar-benar terjadi. Bukan fiksi, bukan dongeng, bukan pula kabar burung. Untuk keyakinan diri, saya terpaksa memakai teman sebagai pendengar. Karena saya sudah terlalu hapal ceritanya. Bertahun-tahun kisah itu mendominasi otak dan kesadaran saya. Baik ketika diam di satu tempat, atau ketika sedang berjalan ke tempat lain. Ia bahkan sampai masuk ke dalam alam mimpi. Pertanda saya ada di bawah pengaruhnya.Tapi hari ini, enam tahun setelah itu, saya baru bergerak untuk menuliskannya. Sudah cukup jarak yang ada antara saya dengan cerita itu. Saya kini bebas dari keinginan bertapa. Ratusan pertapa telah saya bunuh dalam pikiran saya. Sesungguhnya bukan saya pembunuhnya. Tapi anak saya, yang kini sedang lucu-lucunya. Ajaib! Bagaimana ini harus dibaca: ''seorang anak membunuh ratusan pertapa''. Pada diri anak, saya melihat kehidupan yang jauh lebih berharga untuk dijalani daripada ditolak. Saat bermain dengan ''anak-kehidupan,'' saya mendapatkan tenaga untuk hidup, termasuk energi untuk menulis semua ini.Saya tidak mengatakan bahwa seorang anak lebih bagus daripada seorang pertapa. Mereka berbeda. Seorang anak yang asyik bermain tidak bertanya apa hakikat permainannya. Hakikat permainan itulah yang justru dicari oleh pertapa dengan berbagai cara. Ketika hakikat hidup itu ditemukan, seorang pertapa konon akan kembali menjadi seorang anak. Tapi banyak pertama gagal menjadi anak, hanya berhasil menjadi bayang-bayang Sunyi.
( tulisan bagus ini diambil dari tulisan : IBM Dharma Palguna )
***
Menyusuri lorong-lorong New Delhi, saya pungut bermacam cerita. Cerita itu saya rangkai sendiri dari apa yang saya lihat, dari apa yang saya dengar, dari apa yang saya baca. Sudah tentu berdasarkan apa yang saya mengerti. Tepatnya, berdasarkan apa yang saya duga saya mengerti. Saya masukkan cerita itu ke dalam file memori. Kelak satu persatu cerita itu akan saya bacakan pada diri sendiri sebelum bubuk. Itulah hadiah yang ingin saya berikan pada diri, bila tidak lagi bisa berjalan.Serakah sekali manusia-saya ini. Tidak mampu berjalan tapi ingin dapat anugerah. Keserakahan itulah bukti, saya bukan murid agama yang baik. Ingin saya menabung cerita sebanyak mungkin. Untuk itu saya menempuh jarak geografis dan psikologis yang tidak pendek. Mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Menghabiskan waktu yang ternyata tidak bisa habis. Mengumbar energi yang ternyata terbatas. Dan menyia-nyiakan usia produktif menurut kata orang-orang yang gagal memahami saya, atau yang gagal saya pahami. Perbedaan pemahaman atas ajaran telah memisahkan kami. Harmoni menurut mereka adalah kesamaan, bukan perbedaan. Berdesak-desakan dalam bus saya menuju Reshikesh, sebuah desa perkampungan pertapa, tempat John Lennon dan The Beatles pernah mencicipi spiritualitas para yogi. Keunikan tempat itu menyebabkan saya akhirnya tertahan beberapa minggu. Pagi hari rombongan pertapa lalu-lalang dengan pandangan mengejek kehidupan. Pemandangan sore hari membangkitkan sensasi aneh. Puluhan yogi melakukan pemujaan pada sungai Gangga dengan musik, nyanyi, dan tari. Sungai Gangga memang beda. Dengan caranya yang tidak saya mengerti, Gangga membangkitkan insting purba yang ternyata masih ada dalam diri saya. Saya seperti ingin menangis di hadapan Ibu-Gangga untuk melepaskan keletihan hati. Malam-malam saya duduk sendirian di tepinya, sekadar memandang alirannya yang deras. Atau sekadar mengikuti deru bunyinya yang tak putus-putus.Suatu malam saya duduk di tepinya memegang sebuah gunting. Saya tidak hendak bunuh diri. Saya ingin mempersembahkan sesuatu pada Ibu-Gangga. Maka saya potong sedikit demi sedikit jenggot yang panjangnya sekitar tujuh senti. Saya hanyutkan potongan jenggot itu satu persatu. Setiap kali menabur jenggot, saya ucapkan sebuah Mantra khusus, yang terlalu pribadi untuk dituliskan di sini. Itulah isi dan cara persembahan saya. Itulah sembahyang saya yang sama sekali tidak berbau Bali.Kenapa jenggot? Saya tidak punya sesuatu yang pantas dipersembahkan selain jenggot. Bukankah jenggot adalah bagian dari diri. Semula saya pikir mungkin baik mempersembahkan rambut. Rencana itu saya batalkan, karena ternyata saya masih sangat sayang pada rambut yang panjang ini. Saya tidak mungkin memotong jari tangan atau kaki untuk dipersembahkan. Apalagi memotong leher. Itu namanya konyol. Saya tahu konon demi baktinya tokoh Ekalawya memotong ibu jari tangannya sebagai persembahan kepada Profesor Drona dalam Epos Mahabharata. Tapi murid nakal seperti saya tidak mungkin melakukan itu. Jika tidak mampu memecat professor itu, saya pasti akan meninggalkannya. Karena kebenaran tidak boleh menjadi milik satu orang, atau satu lembaga. Keesokan harinya seorang pertapa kenalan saya kaget melihat saya tanpa jenggot. Saya tidak mau menceritakan pemujaan bersaranakan jenggot itu. Tapi saya juga tidak ingin berbohong. Maka saya menjawab dengan senyum. Seperti bahasa, senyum juga menutupi sesuatu dengan memperlihatkan sesuatu yang lain. Soal jujur dan bohong, itu masalah lain lagi. Ketika pertapa itu membalas senyum saya dengan senyum, saya merasa ia tahu bahwa sesuatu telah terjadi pada diri saya. Pertapa itu saya kenal pada hari pertama di Reshikesh. Kami menjadi dekat karena sama-sama bisa bercerita banyak tentang Desa Shiwa. Pertemuan kami selalu dipenuhi percakapan ala spiritualis-pengembara. Tapi akhirnya saya tinggalkan tempat itu karena sebuah kejadian yang tidak ada hubungannya dengan spiritualitas. Pertapa itu dengan caranya yang sangat professional mengambil uang saya beberapa ratus Rupee tanpa saya sadari. Maka bertambah satu lagi cerita yang saya koleksi dalam memori. Cerita itu saya beri judul ''Hati-Hati, Ada Pertapa.''
***
Bersama cerita ''Hati-hati, Ada Pertapa'' saya tinggalkan Reshikesh. Dengan menumpang bus, saya susuri pinggiran sungai Gangga menuju ke hulunya di sebuah desa bernama Ganggotri. Itu adalah desa terakhir di salah sati kaki pegunungan Himalaya berbatasan dengan Tibet. Saya pilih Ganggotri karena tertarik promosi seorang pegawai hotel. ''Tempat itu cocok untuk orang seperti Anda,'' katanya. Saya tidak tahu apakah ia memuji atau menyindir dengan ucapan itu.''Anda memuja Dewa apa?'' Tanya seorang pertapa yang membukakan pintu Ashramnya ketika tengah malam itu saya sampai di Ganggotri.''Shiwa'', kawan saya sekenannya. Ia memberi saya sebuah lampu minyak tanah, setumpuk selimut tebal, dan menunjukkan sebuah gubuk kayu ukuran 2x1,5 m. Di sana saya boleh tidur untuk beberapa hari.''Besok pagi Anda datang, menemui saya,'' katanya dengan rasa percaya diri berlebihan. Di kuping saya ucapannya terdengar seperti sebuah perintah. Nada ucapan seperti itu sangat sering saya dengan di India. Saya mengiyakan. Karena saya tidak punya pilihan lain.Di dalam gubuk beratap seng itu saya rebahkan badan. Tiga selimut saya tumpuk di atas tubuh sebagai negosiasi saya pada dingin yang menusuk tulang. Bunyi air terjun sungai Gangga yang tak jauh dari Ashram itu memberi saya tidur yang lelap. Keesokan harinya lelaki pertapa itu mengatakan akan pergi beberapa minggu ke suatu tempat yang tidak saya ketahui apa namanya dan di mana lokasinya. Ia menanyakan berapa lama saya akan tinggal di Ashramnya. Saya jawab, seminggu. Ia menyaran agar saya tetap tinggal di Ashramnya. Seorang pelayan akan membantu saya jika memerlukan sesuatu. Tapi urusan administrasi sebaiknya diselesaikan hari itu juga. Administrasi? Maksudnya, saya harus membayar uang sewa Ashram yang ia sebut contribution. Khusus untuk saya, seorang pemuja Shiwa, ia mengatakan akan memberi discount. Semua itu diucapkannya dengan jelas, tanpa ada sedikit pun keraguan. Seperti terkena hipnotis, saya menyerahkan sejumlah uang yang ia tentukan. Ternyata, saya memang harus selalu membayar untuk apa yang saya dapatkan di mana pun.''Enjoy your stay,'' katanya memasukkan uang itu ke dompetnya yang besar.''Thank you,'' sahut saya sambil menatapnya dengan pandangan kosong. Detik itu juga saya langsung memasukkannya ke dalam daftar cerita yang sedang saya kumpulkan. Saya beri judul,'' Awas, Ada Pertapa Pintar.'' Itu judul sementara sampai nanti saya temukan yang lebih bagus.Itulah contoh sebuah pagi yang produktif-inspiratif. Saya mendapatkan cerita tanpa kehilangan setetes keringat pun. Saya mungkin kehilangan citra pertapa. Bukan pula salah saya. Tidak ada yang salah. Semuanya benar. Ketika semua benar, itulah barangkali sebuah kesalahan. Perut saya lapar. Kaki saya pun melangkah. Di sebuah warung saya menemukan sebuah cerita lain. Tentang seorang wanita Israel merobek didepan saya per satu lembar passportnya, menghanyutkannya ke sungai Gangga. Setelah semua lembar dibuang, ia lemparkan covernya. Kemudian ia mendaki sebuah bukit tak jauh dari Ganggotri. Di sebuah gua alam di lereng bukit itu ia tinggal sebagai pertapa. Hanya sesekali ia keluar gua untuk kebutuhan bahan makanan. Kata orang, sudah setahun lebih wanita itu menjalani hidup barunya. Dan ia masih hidup. Hanya wajahnya mulai kelihatan aneh. Demikian obrolan serombongan turis Israel yang duduk semeja dengan saya. Seorang dari mereka menawarkan apakah saya ingin pergi ke gua itu bersama-sama. Saya jawab, ''terimakasih, saya sudah punya acara.'' air itu saya habiskan dengan duduk seharian di depan temple Dewi Gangga.Kisah itu saya dengar kembali keesokan harinya, dan hari esoknya lagi. Yang menceritakannya selalu turis. Penduduk setempat tidak membicarakannya. Ikan tidak berbicara tentang air. Atau, seperti metafora kumbang dan kedok dalam Kakawin Niti Shastra. Kumbang yang terbang membawa berita tentang bunga-bunga. Sedangkan kodok, walau hidup di kolam yang, tidak perduli dengan bunga yang tumbuh di sana. Saya tidak tahu, apakah saya kumbang atau kodok. Barangkali bukan keduanya.Saya tidak menanyakan siapa nama pertapa wanita itu. Saya tidak pernah dan tidak ingin melihat mukanya. Tapi saya memang sempat melihat mulut gua itu dari kejauhan. Sekadar ingin tahu. Kaki saya tidak tergerak mendekati pertapaannya. Saya tidak termotivasi mengenalnya dari dekat. Bahkan, sekadar menyapa namaste pun saya enggan. Kesadaran saya berkata, orang seperti itu lebih bagus dibiarkan, tanpa perlu berpikir negatif tentangnya.Bukan berarti pertapa wanita itu tidak masuk ke dalam kumpulan cerita dalam memori saya. Keputusannya memilih hidup ekstrem, seakan mengejek saya. Sering saya berpikir tentang hal yang sama, tapi tidak pernah merasa siap untuk melakukannya. Karena, barangkali saya tidak benar-benar menginginkannya. Atau, keinginan itu belum matang. Pengalaman hidup yang menyebabkannya masuk gua pasti berbeda dengan pengalaman hidup yang menyebabkan saya berpikir tentang gua. Entahlah! Yang jelas, mendengar orang membicarakannya, saya menjadi malu pada diri sendiri. Tapi saya tetap memungut cerita itu, sebagai satu dari beberapa cerita unggulan yang saya punya. Lama setelah meninggalkan Ganggotri, dan lama setelah saya pergi dari India, saya masih memikirkannya. Kepada beberapa teman, saya ceritakan apa adanya. Bukan sebagai oleh-oleh dari Himalaya, tapi untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kisah ini benar-benar terjadi. Bukan fiksi, bukan dongeng, bukan pula kabar burung. Untuk keyakinan diri, saya terpaksa memakai teman sebagai pendengar. Karena saya sudah terlalu hapal ceritanya. Bertahun-tahun kisah itu mendominasi otak dan kesadaran saya. Baik ketika diam di satu tempat, atau ketika sedang berjalan ke tempat lain. Ia bahkan sampai masuk ke dalam alam mimpi. Pertanda saya ada di bawah pengaruhnya.Tapi hari ini, enam tahun setelah itu, saya baru bergerak untuk menuliskannya. Sudah cukup jarak yang ada antara saya dengan cerita itu. Saya kini bebas dari keinginan bertapa. Ratusan pertapa telah saya bunuh dalam pikiran saya. Sesungguhnya bukan saya pembunuhnya. Tapi anak saya, yang kini sedang lucu-lucunya. Ajaib! Bagaimana ini harus dibaca: ''seorang anak membunuh ratusan pertapa''. Pada diri anak, saya melihat kehidupan yang jauh lebih berharga untuk dijalani daripada ditolak. Saat bermain dengan ''anak-kehidupan,'' saya mendapatkan tenaga untuk hidup, termasuk energi untuk menulis semua ini.Saya tidak mengatakan bahwa seorang anak lebih bagus daripada seorang pertapa. Mereka berbeda. Seorang anak yang asyik bermain tidak bertanya apa hakikat permainannya. Hakikat permainan itulah yang justru dicari oleh pertapa dengan berbagai cara. Ketika hakikat hidup itu ditemukan, seorang pertapa konon akan kembali menjadi seorang anak. Tapi banyak pertama gagal menjadi anak, hanya berhasil menjadi bayang-bayang Sunyi.
( tulisan bagus ini diambil dari tulisan : IBM Dharma Palguna )
Komentar